Jumat, 30 Desember 2022 04:15 WIB

Bapenda Butuh Dukungan Karantina Untuk Tingkatkan Capaian Pajak Walet
Penulis: Advertorial | dilihat: 18069 kali

BAPENDA Kabupaten Kepulauan Meranti bersama Balai Karantina dan BPKP melakukan sosialisasi pajak sarang burung walet beberapa waktu lalu.

SELATPANJANG - Hingga kini penerimaan pajak dari sarang burung walet masih belum maksimal. Petugas mengaku kesulitan untuk memungut, karena banyak pemilik sarang burung walet seolah main kucing-kucingan dengan pihak pemerintah setempat. Mereka memanen dan menjual sarang burung waletnya diam-diam tanpa melapor dan membayarkan pajaknya ke daerah.

 

Dari perhitungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kepulauan Meranti dalam setahun pajak sarang walet bisa mencapai setidaknya Rp 19 miliar. Namun hal itu sulit dicapai karena kesadaran pemilik sarang walet masih sangat rendah.

 

Kepala Bapenda, Atan MPd mengaku setidaknya dari ribuan sarang burung walet yang beroperasi di Meranti, hanya sebanyak 1.279 nya yang terdaftar memiliki NPWPD. Sementara dari catatannya sebagian besar tidak memiliki izin daerah, mulai dari IMB, IPAL dan izin lainnya.

 

"Kalau izin, sarang burung walet ini banyak tidak ada. Sebagian besar IMB tidak ada sama sekali. apalagi IPAL," ujarnya.

 

Realisasi per tanggal 22 Desember 2022 sebesar Rp. 720.757.000 dengan presentasi 3,32% dari target Rp. 21.700.000.000 sehingga kekurangan Rp. 20.979.243.000. Target sarang burung walet pada APBD murni hanya Rp. 5.000.000.000 kemudian mengalami kenaikan pada APBD Perubahan sebesar Rp. 21.700.000.000 menjadi penyumbang 50% lebih dari total target pajak daerah yang berjumlah Rp. Rp. 37.441.000.000.

 

Sementara BAPENDA mau menarik pajak juga kesulitan. Sebab pemilik tidak mau menginformasikan jadwal mereka memanen. Ditambah lagi pemilik juga tidak berada daerah.

 

"Saat petugas datang, penjaga sering menutup-nutupi informasi kepemilikan sarang walet ini. Mereka sering menyebutkan bahwa pemilik tidak tau tinggal dimana, sampai dengan pemilik tinggal di luar daerah. Sementara, sarang waletnya digembok dan tanpa mempedulikan lingkungan membunyikan suara burung walet tanpa henti. Mereka seenaknya sendiri mulai dari pembangunan sampai dengan panen. kewajiban membayar pajak pun diindahkan mereka ke daerah," ungkap Atan.

 

Karena pemilik walet hanya membutuhkan Sertifikat Sanitasi Produk yang dikeluarkan oleh Balai Karantina Hewan dan Tumbuhan saja untuk memuluskan penjualannya ke luar negeri. Sehingga mereka merasa cukup membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hanya Rp 5000 per kilogramnya.

 

"Makanya pemilik walet tidak mungkin tidak menyetor PNBP nya agar sarang waletnya bisa dijual. Sedangkan pajak ke daerah diabaikan mereka. Ini yang sangat disayangkan," akunya.

 

Oleh karena itu, agar pencapaian bisa maksimal, dibutuhkan dukungan dari Balai Karantina Tumbuhan dan Hewan. Karena Sertifikat Sanitasi Produk menjadi syarat mutlak agar produknya bisa legal di pasaran. Sementara pajak daerah tidak.

 

Artinya, dipastikan pemilik walet akan mengurus dokumen dari karantina dengan konsekuensi PNBP. Sebab tanpa dokumen tersebut harga jual tidak bisa bersaing di pasaran. Sedangkan pajak daerah, tidak mempengaruhi harga jual dan tetap dianggap produk legal walaupun tidak membayarnya.

 

"Namun jika pihak Karantina mau bekerjasama, tentunya pencapaian pajak dari sektor ini bisa meningkat. Kami berharap pihak Balai Karantina Hewan dan Tumbuhan bisa membantu daerah untuk mendukung pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah," harap Atan.

 

Kabid Pendaftaran, Pendataan Pengawasan dan Pelaporan Badan Pendapatan Daerah, Dani Suhanda, SE menambahkan upaya melakukan pendataan terus dilakukan. Terutama yang belum masuk dalam rekap mereka.

 

"Hingga kini baru sebanyak 1.279 unit sarang burung walet yang baru terdata sama kita. Jumlah ini tersebar ke seluruh wilayah Kepulauan Meranti," ungkapnya.

 

Dani menambahkan juga bahwa masih banyak yang belum berhasil didata. Hal itu karena lokasi sarang waletnya yang sulit dijangkau, sampai kurangnya kesadaran dari pemilik sarang burung walet untuk melapor kepada pihaknya.

 

"Makanya kita terus menyisir sarang walet mana saja yang belum masuk dalam rekap. Bahkan kita juga meminta dukungan dari seluruh UPT (Unit Pelayanan Teknis) BAPENDA yang ada di seluruh kecamatan, dan juga pemerintah kecamatan serta desa se-Meranti," terangnya.

 

Dani juga menjelaskan Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan atau pengusahaan sarang burung walet. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculenta, dan collocalia linchi.

 

Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet dihitung berdasarkan harga pasaran umumnya. Tarif Pajak Sarang Burung Walet dibebankan sebesar 7,5 persen.

 

Sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti, Riau, telah dilakukan perubahan nilai penghitungan dari nilai jualnya. Dimana nilai jual standar pasaran umum ditetapkan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2021 perubahan atas Perda Nomor 10 Tahun 2011 yakni Pajak Sarang Burung Walet kurang dari 1 kilogram sebesar Rp8.000.000, diatas 1 sampai 5 kilogram sebesar Rp9.000.000 dan lebih dari 5 kilogram sebesar Rp10.000.000.

 

"Kita menyesuaikan dengan harga saat ini. Penetapan nilai juga masih dibawah nilai sebenarnya. Karena kita hanya menghitung angka rata-rata saja," ungkap Dani lagi.

 

"Kita akan terus berupaya agar bagaimana PAD kita bisa terus meningkat. Khususnya untuk Pajak Sarang Burung Walet. Karena potensinya sangat besar," tambahnya. (ADV)